Di sebuah sudut kota tua, di antara lorong-lorong Kampung Kemasan yang menyimpan kisah lampau, sekelompok orang pernah duduk bersila di Rabu malam. Mereka berbincang tanpa gemerlap, tanpa agenda besar, hanya berbekal rasa ingin tahu dan cinta pada tanah kelahiran. Malam itu, lahirlah sebuah getar yang kemudian disebut Mataseger — mula-mula hanya sebuah komunitas, namun pelan-pelan menjelma menjadi gerakan kebudayaan.

Dari Reboan yang sederhana itu—forum diskusi yang membincang sejarah, budaya, cagar budaya, dan seni tradisi lokal—terbentuklah ruang perjumpaan antara para tokoh tua dan muda. Dari dialog hangat di antara gelas kopi dan lembar catatan, tumbuhlah kesadaran bahwa Gresik bukan sekadar tempat tinggal, melainkan jejak panjang peradaban yang mesti dirawat.

Waktu berjalan. Jejak itu kian dalam.
Mataseger tak berhenti di percakapan. Ia bergerak menjadi Gresik Djaloe (jaman dulu)—sebuah ikhtiar untuk menafsir ulang masa lampau. Dari inisiatif itu tumbuh gagasan Heritage Walk, yang suatu saat bertransformasi menjadi Bandar Grissee, ruang kreatif yang memadukan riset sejarah, pameran, dan wisata budaya.

Dalam setiap langkahnya, Mataseger menjahit masa lalu dan masa kini dengan benang kesadaran. Ia menulis, meneliti, menerbitkan. Lima puluh lebih judul buku lahir dari tangan-tangan yang mencintai Gresik: buku-buku tentang tokoh wali, pelabuhan, makam tua, kesenian, hingga tafsir atas simbol-simbol lokal seperti damar kurung, gapura, dan naga giri.

Namun jejak Mataseger bukan hanya dalam kata.
Ia hadir dalam bentuk dan wujud: pada rancangan Gapura Naga Giri yang menyambut di pintu kota, pada Monumen Gunung Lengis yang meneguhkan identitas sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, pada upaya melestarikan damar kurung yang kini bersinar kembali di tangan anak muda. Di antara itu semua, ada denyut yang sama — semangat menjaga akar dan menumbuhkan cabang peradaban.

Kini, tahun 2025, usia Mataseger genap 15 tahun.
Lima belas tahun bukan sekadar angka; ia adalah waktu yang menorehkan perjalanan panjang: dari komunitas kecil menjadi yayasan yang berpengaruh dalam gerakan kebudayaan Gresik. Dalam setiap kegiatan, Mataseger tetap berpegang pada satu prinsip: berjejak — berpijak pada nilai, pada sejarah, pada identitas.

Berjejak bukan berarti berhenti.
Berjejak berarti tahu dari mana melangkah.
Dari tanah yang subur oleh cerita, dari laut yang menyimpan perdagangan dan doa, dari gunung yang menatap jauh hingga ke langit sejarah.

Lima belas tahun Mataseger telah menjadi saksi bahwa menjaga kebudayaan bukan pekerjaan sesaat. Ia adalah laku panjang, ibarat menanam pohon yang akarnya menembus masa lalu, dan daunnya meneduhkan masa depan.

Hari ini, di ulang tahun yang ke-15, kita tidak sekadar merayakan usia. Kita merayakan jejak—jejak yang masih hangat di tanah Gresik, jejak yang menjadi saksi bahwa cinta pada sejarah dan budaya bisa menumbuhkan karya, gerakan, dan harapan.

Mataseger tetap berjejak.
Di setiap langkah, di setiap karya, dan di setiap denyut Gresik yang terus hidup.

(Kris Adji AW)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *