Oleh : Yudhi Herwibowo
Sebulan lalu saya menjadi kurator di salah satu program penulisan fiksi sejarah di Solo, yang digagas seorang kawan saya yang peduli dengan literasi, Maysanie Fundation. Jadi saat Mas Mardi Luhung meminta saya membahas satu buku –yang saya tangkap sebagai fiksi sejarah– saya mau saja, namun betapa kagetnya saya ketika melihat buku setebal 400-an halaman ini ternyata bukanlah buku fiksi sejarah seperti dalam bayangan saya. Saya sempat menanyakan apakah pemilihan saya untuk membahas buku ini sudah tepat, karena latar belakang saya tentu kurang tepat bila membahas buku sejarah. Namun ternyata memang yang diinginkan adalah pembahasan buku ini dari sisi fiksi sejarahnya. Maka setelah mendapat penjelasan ini, saya pun membernaikan diri menerimanya.
Buku Lagi-lagi Sang Gresik Bercerita (selanjutanya LLSGB), adalah kolaborasi 40 penulis dan banyak pekerja buku yang membuat saya kagum. Saya paham sekali tak mudah membuat sebuah antologi bersama, apalagi mengangkat tema yang tidak ringan seperti ini, namun LLSGB bisa mewujudkannya.
Kota tentu tak pernah menceritakan dirinya. Orang-orang yang hidup di sanalah yang menceritakannya. Seperti yang dilakukan pemerintah Prancis yang meminta para seniman di kotanya untuk menceritakan tentang Paris. Di abad 17-19, Paris tentu tak seindah sekarang. Kota itu masih selalu identik dengan penjara, surga dan neraka –mengambil pernyataan dalam buku Paris Rahasia yang Disembunyikan karya Andrew Hussey. Digambarkan sungainya sehitam jelaga, dan pinggiran kotanya berbau busuk, gelandangan dan pelacur memenuhi jalan. Persaingan sesama dengan kota-kota di Eropa –dalam hal ini London, Madrid dan Roma– menempatkan Prancis tak cukup bisa menonjol dibandingkan para saingannya itu. Kesadaran itu membuat pemerintah kemudian meminta para seniman untuk menceritakan Paris dalam sudut pandang yang baik. Para penulis membuat kisah cinta, perjuangan, heroisme, mimpi, dan terutama menceritakan kerinduan pada Paris sebagai kota dengan seribu kenangan. Hasilnya, sampai hari ini image tentang Paris yang seperti neraka itu, berubah menjadi Paris yang indah dan romantis.
Kesadaran menceritakan kota tentu sudah ada sejak lama, namun Indonesia cukup terlambat mengambil langkah besar ini. Kota masih identik dengan slogan-slogan singkatan yang mirip-mirip satu dengan lainnya.
Walau ini adalah kedatangan saya secara fisik pertama kalinya ke Gresik, namun jiwa saya sudah ke Gresik belasan tahun lalu. Tahun 2010 saya pernah membaca buku tentang Sejarah Grissee 1896-1916 karangan Oemar Zainudin, dan beberapa tahun lalu saya secara kebetulan mendapatkan buku Grissee Tempo Dulu, yang saya pikir merupakan buku sejarah tentang kota paling epik yang pernah saya miliki. Beberapa buku lain, saya lihat juga diterbitkan dari tahun ke tahun dari berbagai pihak. Tanpa sadar saya merasakan kalau masyarakat Gresik sudah secara teratur telah menceritakan tentang kotanya. Tentu ini istimewa, karena tak semua kota bisa diceritakan secara terus menerus –atau bahkan dijadikan judul sebuah buku. Hanya kota-kota yang memiliki sejarah panjang yang bisa melakukannya.
Apalagi isi buku LLSGB seperti mampu membedah kota dalam-dalam. Ada 14 bab dalam buku ini, dan saya merasa semua obyek kota telah disentuh. Mulai dari Menelisik Manuskrip hingga Kuliner. Dari kisah Lewat Air sampai Dari Darat. Ada 40 penulis yang terlibat, dan tentu tak sedikit pekerja buku yang membuat buku ini benar-benar bisa terwujud. Yang menarik membaca biodata para penulisnya, penulis-penulis di LLSGB benar-benar dari berbagai latar belakang yang berbeda. Ada yang telah menulis 30 buku, ada pula yang bergelar S3, namun ada yang tetap ingin dikenali sebagai orang Gresik biasa saja.
Buku ini memuat tulisan ringan yang tidak njlimet, dan tentu enak dibaca. Jumlah katanya pun pendek-pendek, sehingga pada dan langsung pada masalah yang akan diangkat. Untuk orang yang ingin tahu dan berharap mendapatkan banyak hal membaca buku ini, buku itu menjadi semacam lumbung tulisan yang siap dieksplorasi lebih dalam lagi.
Saya tentu hanya akan fokus pada bab yang sesuai dengan bidang saya. Kisah-kisah dari bab Lewat Air bagi saya ada kisah-kisah yang menarik, dan saya rasakan sangat dekat dengan posisi saya sebagai penulis fiksi. Ada 9 penulis yang mengambil tema yang berbeda satu dengan lainnya. Kesembilannya hampir semuanya memiliki gaya yang berbeda dalam penyajian tema. Kalau boleh saya bandingkan dengan buku Hikayat 45 Danau Indonesia yang diterbitkan Tempo dan KPG –karena sama-sama membahas tentang danau atau telaga– di situ walau juga digarap oleh penulis yang berbeda-beda (atau tim penulis), pakem yang dipakai nampak jelas. Kalau boleh dipetakan: hubungan penulis secara subyektif pada obyek, lalu latar belakang obyek, kemudian legenda, mitos yang ada, kejadian aktual yang terjadi pada obyek, dan yang terakhir adalah upaya yang dilakukan masyarakat –bonusnya syukur-syukur– posisi pemerintah sudah melakukan apa pad obyek. Tapi dalam LLSGB format itu sama sekali tak terpakai. Keterbatasan jumlah karakter tulisan, membuat penulis cenderung mengambil satu tema utama untuk obyeknya.
Misalnya dalam kisah Legenda Putri Kabunan dan Jaka Slining, Boyo Pinggiran Sang Penunggu Desa, eksploitasi legenda dan mitos sangat kental. Fokus ini dijaga dari awal sampai akhir cerita. Penulis bahkan menyesuikan pilihan tema dengan cara menulis yang ringan seperti layaknya kita membaca sebuah dongeng.
Penguatan kisah dengan menghadirkan tokoh penting juga sudah dilakukan. Sunan Giri menjadi obyek yang banyak dipilih –selain Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ali Murtadlo alias Raden Santri di seluruh buku. Tokoh-tokoh yang sudah sangat akrab bagi kota ini, tentu mampu menimbulkan hubungan langsung dengan pembaca. Ini bisa dilihat di Kisah Telaga Turi, Telaga Dahar dan Sumur Jogo Temu, dan Sendang Sono. Posisi Sunan Giri dapat diceritakan dengan luwes, karena sebagai seorang wali beliau memang telah diketahui meninggalkan banyak peninggalan bersejarah. Sosoknya yang merupakan wali, membuat kisahnya terus diceritakan dan bertahan hingga ratusan tahun.
Di beberapa kisah lainnya, beberapa penulis masuk ke dalam kisah, tak hanya sebagai narator yang ada di balik kisah. Dalam penulisan yang lebih serius biasanya hal ini dihindari, namun di buku LLSGB nampaknya dibiarkan, sehingga menimbulkan efek kedekatan penulis dengan pembaca. Penulis seakan-akan memposisikan sebagai kawan yang sedang mengobrol, misalnya dalam satu kisah: Opo séng pertama kali tebersit ndhèk ndhasmu nèk ono wong nyébut nama Désa Doudo? Opo wong-wong séng tinggal ndhék désa iku udo1 kabèh, gak duwé klambi? Hal-hal seperti ini juga kadang menjadi humor kecil dalam kisah-kisah yang seharusnya serius.
Bab Dari Tanah punya konsep yang hampir sama dengan Bab Lewat Air. Ada 5 penulis mengeksploitasi tentang kisah-kisah sejarah daerah-daerah di Gresik. Kisah Gunung Pentung, dan Kisah Bukit Ndruyung juga identik dengan ekploitasi cerita legenda, dan mitos. Sedang cerita Kampung Kambing dan Setro Gondo Mayit berusaha menelisik sejarah nama, ada upaya mengajukan beberapa hipotesa asal muasal nama tersebut.
Dalam penulisan fiksi sejarah, data yang sedikit biasanya malah menjadi makanan empuk bagi penulisnya. Beberapa tahun lalu, saya menulis novel Pandaya Sriwijaya abad VII-IX, catatan sejarah tentang Sriwijaya di masa itu sangatlkah sedikit, bahkan prasasti-prasasti peninggalannya dapat dihitung dengan jari. Satu prasasti yang menceritakankan tentang satu pemberontakan dalam beberapa baris, bisa dieksploitasi sedemikian rupa. Imajinasi sangat berperan dalam pengembangan cerita.
Namun berbeda kasusnya ketika data sejarah telah banyak beredar. Dalam penulisan novel Untung Surapati, awalnya saya menulis Perang Kartasura antara Untung Surapati dengan Kapten Tack dipenuhi imajinasi. Sampai saya menemukan satu buku H.J. de Graff, Terbunuhnya Kapten Tack, yang menceritakan detil perang secara sistematis. Karena itulah imajinasi pun harus ditepikan.
Dalam buku ini, kesadaran dengan minimnya data juga sudah disikapi beberapa penulis. Pada kisah Asal Usul Désa Doudo. Kisah ini sebenarnya bisa saja diselesaikan dengan 3-4 paragraf, namun penulisnya kemudian membuat dialog imajiner, yang melibatkan seorang anak dan seorang dewasa. Tentu saya tak mau berpikir ini siasat mengulur tulisan, karena bila melihat dialognya, kisah ini menjadi penting karena tujuan penulis ternyata juga memposisikan dirinya sebagai penyebar kisah pada anak-anak yang mulai tak memahami sejarah nama desanya.
Ini berkebalikan dengan kisah-kisah di Bab Cerita Tokoh dan Ingatan Kolektif. Tulisan-tulisan di bab ini cenderung beralur lancar, dan padat. Ini saya simpulkan karena memang data yang dimiliki penulis sudah cukup banyak untuk tulisan-tulisannya, sehingga para penulis tak mengalami kesulitan dalam menceritakan kisahnya.
Kisah tokoh masa lalu memang selalu tak bisa dilepaskan dari kisah dengan tambahan imajinasi. Data-data tentang tokoh-tokoh tersebut biasanya berupa fragmen-fragmen yang tidak runtut. Untuk meruntutkannya biasanya imajinasi berperan. Dalam penulisan salah satu novel Sang Penggesek Biola, roman dari W.R. Supratman, ada banyak lubang dalam buku biografinya, terutama di bagian Kongres Pemuda II, di mana W.R. Supratman pada masa itu berperan sebagai wartawan yang meliput kongres. Imajinasi berperan untuk membuat pijakan hingga di puncak kongres, WR. Supratman maju sebagai pemain biola untuk lagu Indonesia Raya. Cerita tentang lagu-lagu yang diciptakankan, cenderung langsung jadi saja, itulah kenapa imajinasi dipakai untuk memberikan pijakan.
Dalam buku LLSGB, kisah para tokoh juga diambil dalam beberapa fragmen pentingnya. Misal cerita tentang Aji Saka di Negeri Majeti Menciptakan Aksara Jawa. Perseteruan dua murid Aji Saka selalu menimbulkan tanda tanya? Perseteruan seperti apa sampai mereka berkelahi dan saling membunuh? Di bagian ini, detil ceritanya terasa kurang, dan ini seharusnya dimanfaatkan untuk dieksplorasi penulisnya. Mungkin, karena keterbatasan jumlah tulisan juga, bagian ini ditinggalkan.
Pengambilan perspektif tokoh dan keberpihakan juga diperlukan dalam penguatan kisah. Biasanya ini dilakukan penulis fiksi. Namun dalam LLSGB, beberapa penulis sudah melakukannya. Di bab Peristiwa, 3 penulis mengangkat kisah: Pakdhé Saya Tidak Takut Ninja, Kunjungan Presiden Soekarno ke Makam Sunan Giri dan Maulana Malik Ibrahim, dan Alumni Mahasiswa NIAS Pengendali Wabah. Ketiganya adalah sosok minor yang biasanya ditepikan –atau tak dihiraukan– dalam berita besar di berita-berita tentang ninja di tahun 1998, juga di berita tentang kunjungan Soekarno, atau berita tentang sebuah wabah yang tengah terjadi. Namun di tiga kisah ini penulisnya mengambil perspektif yang minor itu untuk kisah besar ini, karena kadang kisah besar malah dapat terlihat dengan jelas dari kacamata kecil.
Satu lagi bab yang menurut saya tulisan-tulisannya harus dikemas dengan sisi imajinasi yang lebih kuat, yaitu bab Kuliner. Kesadaran kota selalu tak lepas dengan kulinernya. Tak hanya sekarang, namun juga masa lalu. Tak perlu jauh-jauh mencarinya, di beberapa kisah yang ada di buku ini pun perihal kuliner disajikan, walau tema yang diangkat sebenarnya bukanlah sekadar kuliner saja.
Di buku LLSGB, lima penulis mengisahkan kuliner khas kota Gresik, mulai dari Lontong Bambu Ladan, Ledre Pangkah, Kue Pasung, Rujak Blonyo dan Sego Osek. Karena tak mudah menuliskan tentang kuliner –terlebih untuk menggambarkan cita rasanya. Sehingga para penulis hampir seluruhnya mengangkat tentang sejarah dan budaya kuliner saja, atau juga pandangan aktual bagaimana kuliner itu sekarang. Dari lima kisah dapat kita tangkap keprihatinan kondisi kuliner-kuliner tersebut yang makin ditinggalkan. Kue pangkah yang hampir sirnah, atau rujak blonyo yang penjualnya tak lagi banyak dan rata-rata sudah tua pula.
Posisi seperti ini kadang menjebak pada permasalahan kuliner yang sama. Bagaimana pun setiap daerah memiliki makanan tradisionalnya masing-masing. Satu dan lainnya bersaing meraih perhatian penikmat kuliner. Ada yang bertahan, ada yang harus tergusur. Pendeskripsian kuliner lewat tulisan kadang tak cukup kuat memancing seseorang untuk tertarik dan mencobanya. Apalagi kini banyak video di Youtube dan Instagram yang dianggap lebih bisa menggambarkan keadaan cita rasa makanannya. Itulah kenapa imajinasi diperlukan untuk hal ini.
Akhir kata, kisah-kisah di LLSGB mungkin hanya kisah-kisah pendek saja, namun mengutip dari pengantarnya, buku ini diharapkan menjadi sumber pijakan yang mendalam bagi penulis yang akan datang.
Sumber : https://yudhiherwibowo.wordpress.com/2024/10/07/upaya-kolaborasi-khalayak-menceritakan-kota-membaca-lagi-lagi-sang-gresik-bercerita/