“Sang Penggempur yang Tak Terhentikan”
(Eryani Widyastuti)
Macam-macam bau terendus ketika buku Darmosoegondo–Dari Batalion Djago hingga PRRI/Permesta—selesai kubaca. Di antara aroma kertas dan mesin percetakan, aku mencium bau bubuk mesiu terbakar, lelehan peluh yang tersengat mentari dan yang bergulat dengan dinginnya malam, anyir ceceran darah, serta bau mineral lautan air mata pengorbanan. Aku mencium pekatnya jejak-jejak debu yang ditinggalkan oleh derap kaki penuh tekad Darmosoegondo, juga batalionnya, untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Darmosoegondo adalah tipe pekerja keras yang kukuh menggenggam cita-cita. Tumbuh dewasa bersama gejolak rakyat Indonesia untuk lepas dari cengkeraman penjajah Belanda, Darmosoegondo muda bergabung dengan organisasi-organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ideologi tersebut senantiasa ia bawa dan sebarkan ke mana pun kakinya melangkah dan menjadi motif tersembunyinya saat bergabung dengan Heiho kala pendudukan Jepang.
Mengawali karir militer dari tingkat terbawah, Darmosoegondo terus merangsek naik hingga mencapai pangkat tinggi Shoo-taichoo pada akhir masa pendidikannya. Meraih jabatan tinggi memang menjadi salah satu sasaran Darmosoegondo, sebab baginya, semakin tinggi jabatan yang mampu ia raih, semakin dekat pula ia pada keberhasilan memerdekakan Indonesia.
Karena jabatan bagi Darmoseogondo hanya alat untuk meraih kemerdekaan, maka tatkala mendengar kabar pembentukan PETA, ia langsung memutuskan bergabung. Ia memandang, PETA adalah wadah yang lebih sesuai untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dibandingkan Heiho, tecermin jelas pada kepanjangan singkatannya: Pembela Tanah Air.
Setelah melalui berbagai persyaratan berat dari petinggi militer Jepang disertai kecurigaan bahwa ia akan berkhianat, akhirnya Darmosoegondo berhasil bergabung dengan PETA. Ia sama sekali tak keberatan ketika harus melepas pangkat tingginya di Heiho dan kembali merintis karir keprajuritan dari nol dalam PETA. Semangat dan kerja keras yang dilandasi pengalaman berorganisasi selama masa penjajahan Belanda dan penguasaan terhadap ilmu militer yang diperoleh selama pendidikan Heiho mengantarkan Darmosoegondo menduduki pangkat opsir tinggi.
Keteguhan jiwa Darmosoegondo dalam menggenggam cita-citanya adalah kesan paling kental yang tergambar dalam buku ini. Berbagai keberhasilan Darmosoegondo selama belajar dan meniti karir kemiliteran di bawah kibaran bendera Matahari Terbit juga tak membuatnya silau apalagi menghamba pada si “Saudara Tua”.
Ketika Darmosoegondo, dan batalion yang dipimpinnya, diminta mengawal para tenaga romusha membangun benteng di daerah Pacet dan di Porong, ia selalu pasang mata dan hati terhadap keadaan saudara-saudara sebangsanya. Ternyata para pekerja romusha diperlakukan secara tidak manusiawi oleh para tentara Jepang, termasuk dalam segi makanan: hanya berupa olahan tepung kanji dan jagung. Berbanding terbalik dengan janji pemerintah Jepang yang sebelumnya mengiming-imingi kesejahteraan hidup kepada para pekerja romusha.
Setelah beberapa waktu, Darmosoegondo memberanikan diri melayangkan tuntutan kepada para petinggi balatentara Jepang untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan makan para pekerja romusha, dan dikabulkan.
Seakan putus urat takutnya, saat mengawal pembangunan benteng tersebut, Soegondo tak cuma menanamkan semangat nasionalisme di hati para tenaga romusha, namun juga mengajari mereka teknik perang gerilya. Tentu saja, hal ini membuat para petinggi militer Jepang kebakaran jenggot. Jabatannya sebagai komandan barisan dibatalkan. Posisinya digantikan oleh komandan baru.
Namun, para anggota batalion yang sebelumnya dipimpin Darmosoegondo protes terhadap pengangkatan tersebut karena menilai komandan yang baru tidak memiliki semangat nasionalisme sebesar Darmosoegondo. Peristiwa itu menggambarkan bahwa Darmosoegondo tidak hanya piawai menjalankan ilmu militer, tetapi juga dicintai oleh anak buahnya.
Gara-gara peristiwa tersebut, Darmosoegondo dianggap berkomplot dengan pasukannya untuk membelot hingga diadili oleh petinggi militer Jepang. Belum sempat mereka dijatuhi hukuman, bom nuklir jatuh di Hiroshima-Nagasaki, menganulir kekuasaan Jepang di Indonesia. Otomatis, Darmosoegondo dan pasukannya dibebaskan.
Pasca-Proklamasi Kemerdekaan, Inggris dan Belanda coba-coba mencengkeram Ibu Pertiwi sekali lagi. Darmosoegondo tanpa ragu terjun ke berbagai medan pertempuran di mana ia ditugaskan, yaitu di area Gresik dan sekitarnya. Selama berpindah-pindah lokasi perjuangan untuk menggempur pertahanan musuh, Darmosoegondo dan pasukannya hampir selalu mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat sekitar. Masyarakat desa Djeruk, misalnya, mendirikan sebuah tugu bertajuk “Batalion Djago” untuk mengenang jasa Darmosoegondo dan pasukannya.
Perjuangan Darmosoegondo untuk memerdekakan Indonesia tergambar sangat berat. Ia dan pasukannya kerap dalam kondisi terjepit. Musuh terus memburu secepat tarikan napas, menyerang tanpa ampun. Pengkhianatan dan penolakan oleh bangsa sendiri diam-diam menusuk dari belakang. Namun berkat kecerdikan, kerja sama dengan masyarakat, dan kewaskitaan yang ia dapat dari laku-laku spiritual, Darmosoegondo selalu saja berhasil meloloskan diri. Sementara itu, terjangan peluru panas dan semburan peledak sempat beberapa kali mengoyak bagian tubuhnya, tetapi tak sanggup mematikan api perjuangannya. Ia pulih dengan cepat dan segera kembali memimpin perjuangan.
Dari cara penyajiannya, buku Darmosoegondo ini sebenarnya tergolong nonfiksi. Berkat dukungan detail-detail peristiwanya pada alur yang sudah terjalin rapi, kisah perjuangan sang Penggempur dari Gresik ini terasa hidup sehingga tak sekadar menjadi informasi sejarah yang dingin.
Peristiwa saat batalion Darmosoegondo terus didesak mundur oleh sekutu terasa begitu nyata dan menegangkan. Geram hati ini setiap kali posisi Darmoseoegondo ketahuan gara-gara dibocorkan oleh informan landa ireng. Sungguh mengharukan pula gambaran rasa cinta para anggota batalion Darmosoegondo kepada sang pemimpin, karena itu mereka kecewa jika terjadi pergantian komandan.
Detail peristiwa yang melingkupi sejarah Darmosoegondo tak mungkin bisa didapatkan jika hanya mengandalkan copy-paste data, apalagi cuma mencuplik apa kata Mbah Google. Penulisnya pasti telah melakukan riset panjang yang sungguh-sungguh, melakukan penelusuran sendiri ke lapangan, mencurahkan seluruh daya untuk mengolah hasilnya, sehingga buku serius ini bisa terasa nikmat dibaca. Yang jelas, buku ini bukan tipe kumpulan puja-puji kepada seorang tokoh sejarah, akan tetapi berusaha menyajikan data sefaktual mungkin sehingga pembacanya bisa menyarikan sendiri semangat-semangat positif dari sikap Darmosoegondo dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.